BERIMAN KEPADA YANG GHOIB

0

Allah 'azza wa jalla berfirman,

الم، ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ، الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ

“Alif Laam Miim. Kitab Al-Qur'an ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu); mereka yang beriman kepada yang ghaib...” [Al-Baqoroh: 1-5]

Asy-Syaikh Al-Mufassir Abdur Rahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata,

“Hakikat keimanan adalah:

1. Pembenaran secara menyeluruh terhadap apa yang dikabarkan oleh para Rasul.

2. Mencakup ketundukan anggota tubuh (amalan-amalan zhahir).

Dan bukanlah hakikat iman itu meyakini apa-apa yang dapat disaksikan dengan panca indera saja, karena itu tidak membedakan antara seorang muslim dengan kafir (karena sama-sama memiliki panca indera yang dapat menyaksikan)

Hanyalah hakikat iman itu adalah meyakini yang ghaib, yang tidak kita lihat dan saksikan, akan tetapi kita mengimaninya karena adanya berita dari Allah dan Rasul-Nya.

Inilah diantara keimanan yang membedakan seorang muslim dengan orang kafir, karena mengimani yang ghaib adalah semata-mata pembenaran terhadap Allah dan Rasul-Nya.

Maka seorang mukmin mengimani semua yang dikabarkan oleh Allah atau yang dikabarkan oleh Rasul-Nya, sama saja apakah ia menyaksikannya atau tidak menyaksikannya, apakah ia memahaminya dan mampu dicerna akalnya atau pun akal dan pemahamannya tidak sanggup menggapainya.

Berbeda dengan orang-orang sesat dan mendustakan perkara-perkara ghaib, mereka tidak beriman hanya karena akal-akal mereka pendek, terbatas dan tidak sanggup menggapainya, mereka pun mendustakan sesuatu yang tidak dapat dililiputi secara menyeluruh ilmunya oleh akal manusia, maka rusaklah akal-akal mereka dan hilanglah kecerdasan mereka, sedang akal-akal kaum mukminin tetap bersih karena membenarkan perkara ghaib dan menempuh jalan hidayah Allah.

Dan termasuk keimanan terhadap yang ghaib adalah:

1. Mengimani seluruh yang dikabarkan oleh Allah dan Rasul-rasul-Nya tentang perkara-perkara ghaib yang telah lalu dan yang akan datang.

2. Mengimani keadaan-keadaan di akhirat (yang disebutkan dalam dalil shahih).

3. Mengimani hakikat dan bentuk sifat-sifat Allah, maka mereka mengimani dan meyakini keberadaan sifat-sifat Allah (yang maha tinggi lagi maha mulia) meski mereka tidak memahami hakikat bentuknya.” [Tafsir As-Sa’di, hal. 40-41]

=============================

Ust. Sofyan 

Tags

Posting Komentar

0 Komentar
Posting Komentar (0)
To Top