BENCANA DAN DOSA

1

Sungguh sangat disayangkan, masih ada pihak yang mengingkari korelasi antara dosa dan bencana. Bahkan, mereka mempropagandakan bahwa bencana adalah murni peristiwa alam dan tidak ada sangkut pautnya dengan dosa. Gempa, misalnya. Mereka menganggap bahwa gempa hanyalah peristiwa bergesernya lempengan bumi, seraya mengatakan, “Jangan kaitkan gempa dengan dosa.” Subhanallah.

Mari kita perhatikan firman Allah subhanahu wa ta’ala, Cermati kembali tafsirnya. Dengan jelas Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَمَآ أَصَٰبَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِيكُمۡ وَيَعۡفُواْ عَن كَثِيرٍ

“Dan musibah apa saja yang menimpamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari dosa-dosamu).” (asy-Syura: 30)

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di menafsirkan ayat di atas, “Allah subhanahu wa ta’ala mengabarkan bahwa musibah apa pun yang menerpa seorang hamba, baik menimpa badan, harta, anak-anaknya, atau menimpa segala yang dia cintai dan berharga; semua itu disebabkan kemaksiatan yang telah dia lakukan. Bahkan, dosa-dosa yang Allah subhanahu wa ta’ala ampuni lebih banyak (daripada yang dibalas/dihukum). Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan menzalimi hamba-hamba-Nya, tetapi merekalah yang menzalimi diri mereka sendiri.” (Taisir al-Karim ar-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan hlm. 759)

Setelh membaca ayat dan tafsir di atas, pantaskah seseorang menyatakan, “Jangan kaitkan musibah dengan dosa”?

Mari kita baca kembali sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Dengan jelas, Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyebutkan bahwa merebaknya wabah penyakit adalah akibat dari fahisyah yang menyebar dan dilakukan secara terang-terangan.

لَمْ تَظْهَرْ الْفَاحِشَةُ فِي قَوْمٍ قَطُّ حَتَّى يُعْلِنُوا بِهَا إِلَّا فَشَا فِيهِمْ الطَّاعُونُ وَالْأَوْجَاعُ الَّتِي لَمْ تَكُنْ مَضَتْ فِي أَسْلَافِهِمْ الَّذِينَ مَضَوْا

“Tidaklah fahisyah (perbuatan keji) tersebar pada suatu kaum kemudian mereka melakukannya dengan terang-terangan, kecuali akan tersebar di tengah-tengah mereka wabah penyakit tha’un dan berbagai penyakit yang belum pernah terjadi pada kaum sebelum mereka.” (HR. Ibnu Majah no. 4019. Hadits ini dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Ibni Majah no. 3262)

Setelah memahami kembali hadits di atas, patutkah seseorang menyatakan, “Jangan kaitkan wabah penyakit dengan dosa”?

Sahabat Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhuma bertutur,

وَاللهِ مَا أَرَاكُمْ مُنْتَهِينَ حَتَّى يُعَذِّبَكُمُ اللهُ، أُحَدِّثُكُمْ عَنْ رَسُولِ اللهِ، وَتُحَدِّثُونَا عَنْ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ

Demi Allah! Aku tidak melihat kalian akan berhenti, hingga Allah subhanahu wa ta’ala mengazab kalian. Yang demikian disebabkan ketika aku mengatakan “Rasulullah bersabda demikian”, kalian justru mengatakan kepada kami, “Abu Bakar dan Umar berkata demikian.” (Lihat Jami’ Bayan al-‘Ilmi wa Fadhlih no. 2377)

Adalah tidak pantas bagi seorang mukmin, apabila sampai kepadanya ayat Allah subhanahu wa ta’ala dan sabda Rasul-Nya, kemudian dia malah memiliki pendapat sendiri yang bertentangan dengan ayat dan hadits. Apakah demikian sikap seorang mukmin?

Allah subhanahu wa ta’ala befirman,

وَمَا كَانَ لِمُؤۡمِنٍ وَلَا مُؤۡمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ أَمۡرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ ٱلۡخِيَرَةُ مِنۡ أَمۡرِهِمۡۗ وَمَن يَعۡصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدۡ ضَلَّ ضَلَٰلًا مُّبِينًا

“Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, kemudian mereka memiliki pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sungguhlah dia telah sesat, dengan kesesatan yang nyata.” (al-Ahzab: 36)

Di dalam ayat yang lain, Allah subhanahu wa ta’ala juga menjelaskan bahwa bencana adalah akibat dari dosa. Oleh karena itu, bertobat dan kembali kepada Allah, serta tunduk dan merendahkan diri kepada-Nya, adalah solusi supaya Allah subhanahu wata’ala berkenan mengangkat bencana tersebut.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

فَلَوۡلَآ إِذۡ جَآءَهُم بَأۡسُنَا تَضَرَّعُواْ وَلَٰكِن قَسَتۡ قُلُوبُهُمۡ وَزَيَّنَ لَهُمُ ٱلشَّيۡطَٰنُ مَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ

“Ketika datang bencana yang Kami timpakan kepada mereka, mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan tunduk dan merendahkan diri? Hati mereka justru telah menjadi keras, dan setan pun menghias-hiasi kepada mereka seolah apa yang mereka kerjakan adalah baik.” (al-An’am: 43)

Pada ayat di atas, Allah subhanahu wa ta’ala menjanjikan bahwa apabila Dia menimpakan suatu hukuman, kemudian mereka mau tunduk merendahkan diri dan beriman kepada-Nya, niscaya Allah subhanahu wa ta’ala akan mengangkat bencana tersebut. (Lihat Tafsir al-Baghawi atau yang dikenal dengan Ma’alim at-Tanzil 3/143)

Wallahu a’lam bish-shawab.

===============================

Sumber : Telegram Fiqih Learning Center

Tags

Posting Komentar

1 Komentar
  1. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

    فَلَوۡلَآ إِذۡ جَآءَهُم بَأۡسُنَا تَضَرَّعُواْ وَلَٰكِن قَسَتۡ قُلُوبُهُمۡ وَزَيَّنَ لَهُمُ ٱلشَّيۡطَٰنُ مَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ

    “Ketika datang bencana yang Kami timpakan kepada mereka, mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan tunduk dan merendahkan diri? Hati mereka justru telah menjadi keras, dan setan pun menghias-hiasi kepada mereka seolah apa yang mereka kerjakan adalah baik.” (al-An’am: 43)

    BalasHapus
Posting Komentar
To Top